Rabu, 15 Oktober 2008



“Jadian”

Malam, sepulang dari kantor sekitar pukul 20.00 dipintu rumah saya dihadang anak kedua saya, Ali. Setengah berbisik takut ketahuan oleh adik-adik dan umminya ia berujar mau bercerita kejadian rahasia yang dilewatinya tadi siang di sekolah. Masih dengan baju kantor dan berkaus kaki saya menurut saja ketika ia menarik lengan kelantai atas untuk membicarakan berdua di kamarnya. Sebuah kalimat yang membuat kepala seketika terasa berat terbebani meluncur polos dari bibirnya.
“Tadi siang di sekolah temen Ali jadian!”
Ruangan serasa gelap. Tubuh mendadak lemas. Rasa capek pulang kantor seolah bertambah-tambah. Berusaha menghilangkan rasa kaget, saya balik bertanya pura-pura tidak mengerti.
”Apa itu jadian?”
“Maksudnya jadian itu janjian jadi pasangan pacaran,” jawabnya polos.
“Siapa yang jadian pacaran?”
“A sama B” Ali menyebut dua nama temannya.
“Ali juga ikut jadian?” tanyaku
“Tidak. Ali diminta juga sih tapi Ali tidak mau.”
“Kenapa Ali tidak mau?”
“Kan kata abi pacaran haram?!”
Saya geli mendengar Ali menyebut pacaran haram. Entah pikiran anak-anaknya memahaminya seperti apa.
“Terus yang ngajak Ali jadian bilang apa?”
“Orangnya nggak bilang langsung, tapi pesan lewat temen. Dia bilang ada salam buat Ali dari C dia ngajak Ali buat jadian,” Ali kembali menyebut nama perempuan temannya.
“Ali kenal orangnya?”
“Iya lah, dia kan masih teman di kelas lima juga. Cuman beda kelas.”
“Terus Ali jawab, apa?”
“Terus Ali jawab, Wa’alaikum salam. Nggak terima kasih masih kecil. Lagian kan nggak boleh sama agama!”
“Pinter Ali, tahu darimana Ali jawaban itu?”
“Kan Abi dulu di rumah pernah ceramah menerangkan tentang pacaran. Jadi Ali ngerti. Trus Ali sering lihat Abi, kalau dapat salam dari orang lain Abi suka jawab wa a’laikum salam. Ali juga nggak mau dia sampai marah tersinggung.”
Lega hati ini. Gelisah yang baru saja datang menggelayuti perasaan perlahan menghilang berubah haru bercampur bangga. Tidak kusangka sedikit saja dari benih agama yang kutanam, secepat itu telah tumbuh kokoh menjadi pagar penjaga, diusianya yang baru sepuluh tahun, ditengah belantara pergaulan remaja dan masyarakat luas di negeri ini yang kian jauh dari bimbingan agama. Tanpa terasa menitik air mata.
Tidak tunggu waktu kuambil air wudhu. Rebah sujud shalat Isya. Dalam do’a kupanjatkan :
Terima kasih ya Allah
Dalam segala keterbatasan dan kelemahan hambaMu menjaga dan
mengawasi keluarga ini.
Eungkaulah sebaik-baik Penjaga & Pelindung.
Hasbunallah wa ni’mal wakil. Ni’mal maula wani’mannashir.
Alhamdulillahirabbu l alamin.”

Selasa, 06 Mei 2008

Hasad



Hasad

Oleh : Uus Husni Sofyan

Artinya dengki atau cemburu. Yakni dorongan hati yang menginginkan hilangnya sesuatu yang dianggap kurnia atau kelebihan yang dimiliki orang lain. Baik itu kurnia berupa materi seperti harta kekayaan, rupa, dan keturunan, maupun kelebihan bukan materi seperti kecerdasan, bakat, kemuliaan, akhlak, dll.

Dengki merusak dan dilarang dalam Islam. Didalamnya berisi harapan dan keinginan untuk menjatuhkan martabat dan kedudukan orang lain yang kita dengki. Dengki seringkali muncul atas prasangka yang salah kepada orang lain. Dari akar dengkilah tumbuh pohon kejahatan yang rindang dengan kebusukan pekerti, seperti menggunjing, permusuhan, adu domba, dendam, fitnah, riya, munafik bahkan sampai pembunuhan dan praktek sihir. Allah SWT mengingatkan kepada kita dalam surat Al Falaq (113) ayat 1 – 5. Kita diperintahkan berdoa untuk berlindung kepadaNya dari gangguan orang yang menyihir kita melalui buhul-buhul yang ditiupkan. Dan itu muncul atas permintaan orang yang hasad mendengki kepada kita.

Dengki tidak muncul tiba-tiba, ia hadir dari motif hati yang jelek. Karena perasaan cemburu, dendam, ketakutan, takabur, ujub, gila hormat, gila kuasa, atau bisa juga karena watak kebiasaan yang sudah terpatri pada jiwa seseorang. Bila kita berbuat baik karena termotivasi melihat orang lain berbuat kebaikan, didalam ajaran Islam ini adalah perbuatan terpuji yang disebut ghibthah, sesuatu yang malah dianjurkan dalam berfastabiqul khairat -berlomba dalam kebaikan. Sedangkan bila kita berbuat baik dengan harapan dan keinginan melenyapkan kebaikan pada orang lain ini perbuatan buruk, yakni hasad atau dengki Satu sifat yang mendorong kita menjadi perusak.

Pernahkah kita tidak suka karena orang lain bisa berpenampilan cantik menarik? Pernahkah kita diam-diam merasa kesal disaat rekan kerja naik jabatan? Pernahkah kita jengkel menyaksikan keberhasilan karir pendidikan teman sendiri? Pernahkah kita sinis karena teman kita usahanya maju? Pernahkah kita bermuram sedih karena tetangga membangun rumah jauh lebih bagus dari rumah kita? Setelah itu kita berharap kuat semua kesempurnaan dan kelebihan yang dimiliki orang-orang itu hilang lenyap dari genggaman mereka? Sesungguhnya…inilah dengki itu! Dengki itu kita kecewa akan keberuntungan orang lain, lalu kita cemburu, benci, serta diam-diam berharap keberuntungan itu hilang dari mereka.. Selanjutnya setiap ada kesempatan kita berusaha menahan rejeki dan keberuntungan orang yang kita dengki itu.

Dengki terbagi dalam dua bentuk. Pertama, kedengkian yang jelas. Yakni kedengkian yang diperlihatkan. Kita, dan orang banyak tahu dan melihat kedengkian yang kita perlihatkan dalam bentuk rasa tidak suka, permusuhan dan saling benci diantara kita yang tengah saling dengki. Bila kita kebetulan bertemu seseorang dijalan, kalau ada rasa terpaksa, berat hati atau malah tidak mau sama sekali melempar senyum kepadanya, itu biasanya tandanya betul kita tengah terjangkiti dengki alias hasad. Karena seperti yang disampaikan Imam Khomeini, orang mukmin biasanya raut mukanya ramah berseriseri, sedangkan orang dengki wajahnya muram dan air mukanya masam. Dengki jenis ini diekpresikan dalam bentuk muka masam dan rasa tidak senang yang dipertontonkan dan sulit disembunyikan.

Yang kedua, kedengkian yang tersembunyi. Yang kita sendiri seringkali tidak mengakui dan menampiknya. Saking halusnya kita seringkali tertipu dan merasa diri tidak sedang terjangkiti. Bagaimana kita bisa tahu bahwa kita tengah terjangkiti dengki yang tersembunyi ini? Hanya diri kita sendiri yang bisa menyimpulkannya, orang lain bahkan mereka yang kita dengki tidak mengetahuinya. Namun gejalanya bisa kenali. Pernahkah kita cemburu atas keberuntungan yang diraih oleh orang lain? Lalu muncul rasa tidak suka? Kemudian diikuti kesenangan menggunjingkan dibelakang orang itu? Sementara kita tidak tengah saling bermusuhan? Atau padahal kita adalah teman dekatnya? Itulah dengki tersembunyi! Muka kita berhadapan manis dan ramah, tapi hati kita berpaling, pahit dan bersungut mengharapkan kejelekan untuknya. Sesaat setelah datang dengki tersembunyi ini, dipastikan kita menjadi orang munafik, bermuka dua. Ingat, dengki adalah racun persahabatan. Dengki tidak pernah ditujukan kepada orang lain yang tidak kita kenal, tetapi dengki sasarannya adalah orang dekat yang sudah saling kita kenal: sahabat, tetangga, teman kerja, atau saudara kandung sendiri, malah.

“Seorang mukmin tidak pernah mendengki”. Demikian Imam Ja’far Shiddiq mengatakan. Memang, seorang mukmin tidak suka dan tidak pantas mendengki. Karena ia sadar, ikhlas, dan bersyukur atas segala kelebihan dan kekurangan dirinya. Ia yakin dan tawakal akan segala kurnia Allah yang telah diatur Nya sedemikian rupa. Ia tahu betul tidak semua keberuntunmgan didunia ini adalah kelebihan, dan ia sadar betul tidak semua kekurangan itu adalah sebuah kejelekan.

Rasulullah saww melarang kita mendengki. Disamping menebarkan kerusakan social, dengki juga cermin ketidakrelaan kita keopada Allah swt. dan marah kepada nasib yang ditentukanNya. Dalam hadis dari Imam Ja’far Shaddiq, Rasulullah saw bersabda: Allah swt berfirman kepada Nabi Musa, ”Wahai putra Imran, janganlah sekali-kali engkau dengki kpada manusia karena karunia yang Aku anugrahkan kepada mereka. Dan janganlah kau arahkan pandanganmu pada hal itu, serta janganlah kau perturuti perasaan dengki itu. Sesungguhnya orang yang dengki berarti jengkel kepada nikmat Ku. Dan menggugat pembagian anugrah yang aku tetapkan diantara hamba- hambaKu. Barang siapa berlaku demikian, Aku tidak berhubungan dengannya tidak pula berhubungan denganKu.”.

Maka itu, mari belajar untuk tidak mendengki. Dengki tidak mendatangkan manfaat apa-apa selain dosa. Kedengkian tidak merugikan orang yang kita dengki, sebaliknya dengki malah bisa membuat orang yang kita dengki merasa semakin puas dan kita semakin tersakiti. Tidak ada dengki yang bisa menyelesaikan masalah, ia merusak dan meracuni pergaulan manusia, seperti yang disampaikan Imam Ja’far Shaddiq, “Hasad, Ujub dan kesombongan adalah racun agama.”.

Untuk mengobati penyakit dengki, kembali kepada tekad kita. Bisa mudah bisa pula sulit, karena menyangkut kesempurnaan yang utuh akhlak Mukmin. Dengki ibarat kucuran air yang keluar dari mulut ceret. Ia Out Put dari qalbu & kecerdasan seorang beriman. Jadi, selama kita masih cenderung dan senang maksiat, mencuri, berzinah berkubang dosa, jangan harap dengki bisa betul benar-benar hilang dari diri kita. Sepanjang hayat jiwa kita akan terus letih didera dan tersiksa oleh dengki kepada orang lain.

Minggu, 24 Februari 2008



Rumah Busana Muslim
HASAN HUSAIN
Griya Prima Asri
Jl. Elang E.17 No.3 Baleendah
Bandung 022. 5933173

Wah Matching Banget Penampilanmu, Sayang?!”

Oleh : Euis Daryati

Salah satu tips untuk menjaga kehangatan dan keharmonisan pasangan suami istri, tampil cantik dan rapih di hadapan pasangan hidupnya. Sekarang yang menjadi pertanyaan, apakah Islam juga memberikan perhatian khusus pada masalah ini? Jika kita melihat dan menela’ah kembali hadis-hadis, maka akan kita dapati banyak hadis-hadis yang menjelaskan masalah ini. Bahkan sebagian darinya memberikan penekanan yang khusus.

Sebagaimana juga kita sering mendengar di berbagai pengajian bahwa seorang istri harus berdandan dan berias untuk suaminya. Bukan sebaliknya, ketika hendak keluar rumah baru para istri mengenakan busana bagus, rapih, dan memakai minyak wangi. Akan tetapi, ketika berada di hadapan suaminya, mengenakan pakaian yang telah sobek, bau keringat…dan lain sebagainya. Menyepelekan masalah ini sedikit banyaknya akan memberikan dampak negatif. Karena jika kita berbicara tentang fitrah manusia maka fitrah manusia menyenangi kecantikan, rapih, bersih…dan Islam pun sangat menekankan akan kebersihan sebagaimana dalam beberapa hadis berikut ini:

Rasulullah saww bersabda: “…Sesungguhnya Allah bersih dan mencintai Kebersihan.” [Muntakhab Mizan al-Hikmah, Rey Syahri, hal 560]

Rasulullah saww bersabda: “Seburuk-buruknya hamba, ialah hamba yang kotor (badannya karena tidak mandi-pen).” [Muntakhab Mizan al-Hikmah, Rey Syahri, hal 560]

Dengan tampil rapih dan cantik di hadapan pasangan hidup maka ia akan merasa dihormati. Ketika kita mengetahui bahwa rumah kita akan didatangi tamu, maka kita akan berusaha untuk menjaga penampilan serapih mungkin, dan tidak mungkin kita akan berpenampilan semrawut di hadapannya. Hal ini dilakukan karena atas dasar rasa hormat kita terhadap seorang tamu. Seorang istri maupun suami meskipun senantiasa hidup bersamaan, namun tetap memiliki kepribadian dan harga diri yang harus kita hormati.

Tampil rapih, cantik dan menarik khan tidak mesti bagus, mahal, baru dan lain-lain. Sesuai dengan kemampuan dan yang kita miliki. Jika hanya mampu membeli sebuah bedak, lipstik, dan parfum yang murah, atau hanya mampu membeli sebuah sisir dan minyak rambut untuk laki-laki dan minyak yang murah meriah, maka belilah sesuai dengan kemampuan. Dan hendaknya tidak memaksakan diri untuk membeli yang harganya lebih mahal yang tidak sesuai dengan kemampuan kita. Karena hal itu sebagaimana pepatah mengatakan ,”besar pasak dari pada tiang” adalah perbuatan yang dicela oleh agama.

Dengan tetap memperhatikan kemampuan ekonomi, seseorang akan tetap dapat merawat penampilannya yang membuat senang pasangannya. Karena mungkin saja kita akan menemukan sebuah keluarga menjadi retak dan hampir-hampir saja berakhir dengan penceraian. Namun setelah dianalisa ternyata sebabnya hanyalah masalah remeh seperti pernyataan berikut ini: “Suamiku tidak pernah memperhatianku, ia berangkat dan kembali ke rumah tanpa memperhatikan pakaian kerjanya. Ia tidak memperhatikan dan menjaga penampilannya di hadapanku, kotor, bau keringat. Memang aku ini dianggap apa? Yang hanya disuguhi yang kotor dan bau saja …”. Atau mungkin sebaliknya, seorang suamipun akan mengadukan hal tersebut: “Istriku tidak pernah berias untukku, ia tampil rapih dan cantik ketika hendak pergi ke undangan, jalan-jalan dan pesta saja. Sementara di hadapanku ia hanya mengenakan daster yang telah robek, bau keringat dan wajah yang tidak karuan. Padahal aku ingin sekali ia memakai gaun yang paling aku sukai di hadapanku, serta tampil cantik dan wangi.”

Cerita di atas hanyalah sebuah contoh kasus yang mungkin telah terjadi atau mungkin akan terjadi. Oleh karena itu, tampil rapih dan menarik di hadapan pasangannya merupakan hal patut diperhatikan, dan tidak selayaknya untuk dianggap remeh. Dan hal ini dituntut dari kedua belah pihak (suami & istri). Sebagaimana seorang suami menghendaki istrinya tampil cantik dan rapih di hadapannya, maka seorang istri pun seperti itu. Sebagaimana yang telah disinyalir dalam beberapa riwayat berikut ini:

Imam Shadiq as berkata: “Sebagaimana para lelaki akan merasa senang di saat menyaksikan para istrinya tampil cantik dan rapih. Maka para perempuan pun akan merasa senang sewaktu menyaksikan para suaminya tampil rapih dan menarik.”[Makarim-Akhlak, hal: 80, dinukil dari Raze-Esyq once Hamsaran Boyad Bedonad, hal 13]

Hasan bin Jaham berkata: “Imam Kazim (Imam ke-7) as telah mewarnai rambutnya (dengan pacar) dan merias (menyisir dan merapihkan penampilan) dirinya, lantas aku berkata: “Wahai yang jiwaku sebagai tebusannya, apakah tuan juga mewarnai rambut (dengan pacar)? Beliau menjawab: “Ya, karena penampilan rapih suami akan menyebabkan kehormatan dan keterjagaan (Iffah) para istri. Ketidakterjagaan (penyelewengan) para istri dikarenakan penampilan yang tidak terawat para suami.”Imam melanjutkan; “Apakah engkau senang melihat istrimu tampil tidak rapih dan tidak menarik (berias)? Aku menjawab: “Tidak, wahai junjunganku”. Imam as kembali berkata: “Istrimu juga seperti itu, tidak senang melihatmu dalam keadaan tidak rapih.” [Wasa’il Asy-Syi’ah, hal 183 dinukil dari Raze-Esyq once Hamsaran Boyad Bedonad, hal 14]

Imam Shadiq as berkata: “Tidak selayaknya perempuan membiarkan dirinya tanpa perhiasan meskipun hanya dengan sebuah kalung. Dan tidak selayaknya membiarkan tangannya tanpa pewarna, meskipun hanya dengan pacar.” [Wasa’il Asy-Syi’ah, hal 409 dinukil dari Raze-Esyq once Hamsaran Boyad Bedonad, hal 14]

Bahkan dalam sebuah hadis telah disebutkan merupakan salah satu kewajiban istri ialah harus merias dirinya, memakai wangi-wangian dan mengenakan gaun yang terbagus untuk suaminya. [Mustadrak Wasa’il, jil 14, hal 280]

Coba praktikkan tips berikut ini, tentu dengan tetap meminta pendapat pasangan anda. “Sayang, bagaimana baju ini cocok atau tidak untuk saya? Bagaimana mode rambut saya, senangkah dinda dengan model seperti ini? Bagaimana riasanan saya, cocok atau tidak untuk orang seperti saya?” dan lain sebagainya. Sehingga jika saling meminta pendapat tentang penampilan pasangan maka tidak akan terjadi salah paham. Karena mungkin saja seorang istri telah repot-repot berdandan agar suaminya merasa senang, akan tetapi ternyata suaminya tidak menyukai bentuk dandanannya. Akhirnya bukan kehangatan yanga ada, bahkan mungkin akan timbul pertengkaran.

Seorang suami hendaknya tidak sungkan mengatakan ungkapan-ungkapan berikut ini: “Wah dinda cantik sekali dengan penampilan seperti ini!”, “Dinda, menarik sekali dengan dandan seperti ini!” “Dinda sangat anggun dengan mengenakan perhiasan ini!, jadi tambah sayang nih”. Begitupula seorang istri pun hendaknya tidak usah merasa malu memberikan pendapat tentang penampilan suaminya, dan tidak selayaknya dipendam di dalam hati, namun ungkapkan apa yang ada di dalam hatimu, “Aku senang kanda memakai baju ini”, “Aku senang kanda memakai minyak wangi ini”, “Aku senang kanda memakai berpenapilan rapi seperti ini”, “Kanda, tambah ganteng lho jika rapih seperti ini!”…dan ungkapan lainnya. Berikanlah pujian untuk pasangan anda, dan jangan dipendam dalam hati. Pujian anda terhadap penampilan pasangan anda sangat memberikan dampak positif pada hubungan keharmonisan anda. Karena pasangan anda akan merasa diperhatikan. Senang akan perhatian orang, bukan monopoli anak-anak kecil saja. Orang dewasa pun memerlukan hal itu, karena itu merupakan fitrah manusia sebatas berada pada garis normal.

Singkat kata, pesan-pesan hadis di atas tentang masalah ini sangatlah bagus untuk dipraktikan dalam kehidupan pasangan suami istri. [ED]

Senin, 11 Februari 2008































Minggu, 10 Februari 2008



Rumah Busana Muslim
HASAN HUSAIN
Griya Prima Asri
Jl. Elang E.17 No. 3
Baleendah - Bandung
40375

Hasan & Husain
(022) 5933173

0815 4659 4385

TERIMA KASIH ANDA TELAH MENGUNJUNGI BLOG HASAN HUSAIN!

Rumah Busana Muslim HASAN HUSAIN adalah Rumah tinggal yang difungsikan untuk menjalankan usaha bisnis busana muslim. Kenapa 'Rumah' tidak 'toko'? Inilah yang menjadi istimewa. Rumah punya kesan lain dari toko. Berangkat dari pengalaman kami dibidang penjualan busana, rumah ternyata lebih bisa menciptakan suasana santai, akrab, nyaman, keleluasaan dan kepuasan bagi pelanggan.



Pergi ke toko, Anda dipaksa sekedar berbelanja datang, memilih tergesa-gesa, dan cepat keluarkan uang. Di rumah busana kami, Anda dihadirkan suasana lain, yakni suasana harmonisasi rumah dimana Anda punya keleluasaan memilih, mempadu padankan warna dan model busana yang Anda sukai dengan tanpa takut terusir dan dicurigai pramuniaga.

Di toko busana, Anda hanya punya pilihan untuk membeli produk yang tersedia seadanya saja. Di rumah busana kami, Anda boleh memesan model, warna, bahan sesuai selera. Dengan tangan terbuka kami bantu Anda melalui katalog dan buku model yang disediakan produsen.

kami menyediakan berbagai produk busana muslim, mulai jilbab, tunik, baju koko, stelan muslimah, baju anak muslim, gamis, cadar, mukena/ rukuh, sajadah, pakaian haji sampai aksesoris seperti kalung, tasbih cantik, bross, pita kerudung dan banyak lagi lainnya.

Keistimewaan lain? Di Rumah Busana Muslim HASAN HUSAIN, kami hanya memasarkan produk yang kami anggap memiliki daya penetrasi yang terbatas (limited). Maka jangan heran koleksi produk kami boleh dibilang terkesan exclusive bermerk dan hanya dimininati kalangan terbatas TIDAK PASARAN. Ini semata kami lakukan untuk menjaga image produk dan mempertahankan kwalitas demi untuk kepuasan pelanggan.

Untuk harga, kami selalu berusaha untuk mencari produk yang kami anggap sesuai antara harga dengan kwalitas. Oleh karena itu Insya Allah kami senatiasa berusaha hanya mengkoleksi produk dengan harga yang kami anggap wajar sepadan dengan kwalitas namun demikian tetap menjadi yang termurah.

Berikut beberapa merk produk yang telah tersedia di tempat kami mulai kaos, katun, sutra, sampai bordir, sulam, dan sablon :



BOURGOUTTI, AZKA SULAM ETNIK, KERUDUNG PERMATA, SEKIDO, MAJIDAH, SIK CLOTHING, kerudung RABBANI, SALSA KIDS, INSANI, KEKE, KEISHA, QIRANI, KAKELA, DELVINA, HASANAH, SULBY BAJU RENANG MUSLIMAH, BOENGA, Rok Muslimah FAIRUZ, DLL.


(Mutiah Aulia)


Kamis, 31 Januari 2008

Priv Doc. Soedarbo's

Agama tidak pernah melarang manusia untuk mengikuti mode. Karena mode dan seni adalah salah satu pengejawantaan dari budaya. Sedang budaya adalah bagian primer dari kehidupan manusia, dimana tanpa budaya manusia tidak akan dapat menuju kesempurnaan yang diidamkan oleh hati sanubari setiap manusia berakal sehat. Akan tetapi, Islam adalah agama yang hendak membebaskan manusia dari berbagai bentuk perbudakan dan keterkekangan dari segala macam belenggu, termasuk diperbudak dan dikekang oleh mode. Mode tidak lebih hanya sekedar sarana untuk mencapai kesempurnaan, bukan tujuan utama.
————————————————————–


Busana Muslimah; antara Mode dan Etika

Oleh: Euis Daryati

Prolog
Sejarah busana lahir seiring dengan dengan sejarah peradaban manusia itu sendiri. Oleh karenanya, busana sudah ada sejak manusia diciptakan. Kesimpulan ini dapat diambil dari firman Allah swt yang berbunyi : “Wahai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syetan sebagaimana ia telah mengeluarkan ibu-bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya…”.[3]

Busana memiliki fungsi yang begitu banyak, dari menutup anggota tertentu dari tubuh hingga penghias tubuh. Sebagaimana yang telah diterangkan pula oleh Allah dalam al-Qur’an, yang mengisyaratkan akan fungsi busana; “Wahai anak Adam (manusia), sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi (aurat) tubuhmu dan untuk perhiasan…”.[4] Dari tata cara, bentuk dan mode berbusana, manusia dapat dinilai kepribadiannya. Dengan kata lain, cara berbusana merupakan cermin kepribadian seseorang.

Konsekwensi sebagai manusia agamis adalah berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan agamanya. Salah satu bentuk perintah agama Islam adalah perintah untuk mengenakan busana yang menutup seluruh aurat yang tidak layak untuk dinampakkan pada orang lain yang bukan muhrim.[5] Dari situlah akhirnya muncul apa yang disebut dengan istilah “Busana Muslimah”.

Busana muslimah adalah busana yang sesuai dengan ajaran Islam, dan pengguna gaun tersebut mencerminkan seorang muslimah yang taat atas ajaran agamanya dalam tata cara berbusana. Busana muslimah bukan hanya sekedar symbol, melainkan dengan mengenakannya, berarti seorang perempuan telah memproklamirkan kepada makhluk Allah akan keyakinan, pandangannya terhadap dunia, dan jalan hidup yang ia tempuh, dimana semua itu didasarkan pada keyakinan mendalam terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Kuasa.

Budaya dan Esensi Manusia
Berbicara tentang mode, berarti berbicara tentang seni. Berbicara tentang seni berarti berbicara tentang budaya. Sedang pokok bahasan budaya berarti tidak lepas dari pembicaraan tentang manusia, sebagai pelaku sekaligus obyek budaya. Atas dasar itulah, dapat diambil konklusi bahwa, berbicara tentang mode tidak akan lepas dari pembicaraan tentang esensi manusia sebagai pondasi dasarnya, dan kesempurnaan manusia sebagai tujuan akhir segala bentuk ketaatan. Semua ini memiliki hubungan vertikal yang sangat erat kaitannya antara satu dengan lainnya.

Melihat dari fenomena keragaman budaya yang ada di dunia ini, yang terkadang antara satu budaya dengan yang lain saling bertentangan, maka perlu ada parameter khusus yang menjadi tolok ukur persesuain budaya-budaya yang ada dengan esensi dasar manusia. Sehingga dari situ akan jelas, manakah budaya yang masih sesuai dengan esensi dasar manusia, dan manakah yang telah menyimpang darinya? Manusia memiliki dua dimensi; dimensi lahiriah (bersifat materi), dan dimensi batiniah (non-materi) yang biasa disebut dengan jiwa/ruh. Menurut pandangan dunia agamis, kesempurnaan sejati manusia bukan terletak pada kesempurnaan sisi materi, akan tetapi, kesempurnaan sisi non-materilah yang menjadi tolok ukur kesempurnaan manusia. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa, esensi dasar manusia pun terletak pada sisi non-materi dan jiwanya. Maka, kesempurnaan manusia terletak pada kesempurnaan jiwa dan ruhnya, bukan terletak pada kesempurnaan sisi materinya. Namun, hal ini bukan berarti sisi materi manusia harus diterlantarkan. Karena bagaimanapun juga, sisi materi dan lahiriah manusia pun memiliki peran penting dalam memberikan lahan pada kesempurnaan jiwanya. Tanpa dimensi materi, kesempurnaan sejati manusia –yang terletak pada sisi non-materi- tidak akan terwujud. Terbukti, semua ajaran agama tidak akan terlaksana tanpa bantuan sisi zahir dan materi manusia. Sisi non-materi yang menjadi esensi terpenting dari manusia adalah; akal dan fitrah. Dengan dua hal itulah akhirnya manusia dinobatkan sebagai makhluk yang paling utama dari sekian banyak makhluk-makhluk Tuhan.

Akal yang lebih banyak berfungsi untuk membedakan baik dan buruk, dan fitrah yang selalu menyeru kepada kebenaran, kebaikan, keindahan dan kesempurnaan, adalah modal utama kesempurnaan manusia. Jika dua hal itu diterlantarkan, niscaya manusia tidak layak disebut sebagai manusia seutuhnya. Agama tidak pernah melarang manusia untuk mengikuti mode. Karena mode dan seni adalah salah satu pengejawantaan dari budaya. Sedang budaya adalah bagian primer dari kehidupan manusia, dimana tanpa budaya manusia tidak akan dapat menuju kesempurnaan yang diidamkan oleh hati sanubari setiap manusia berakal sehat. Akan tetapi, Islam adalah agama yang hendak membebaskan manusia dari berbagai bentuk perbudakan dan keterkekangan dari segala macam belenggu, termasuk diperbudak dan dikekang oleh mode.

Mode tidak lebih hanya sekedar sarana untuk mencapai kesempurnaan, bukan tujuan utama. Lantas mode, seni dan budaya yang bagaimanakah yang mampu menghantarkan manusia kepada kesempurnaan manusia? Hanya budaya yang bersumber dari akal sehat dan fitrah suci manusia saja yang mampu menghantarkan manusia kepada kesempurnaan sejatinya, bukan dari nafsu hewani yang hanya menjurus pada bidang material saja. Dari situ, dapat diambil benang merah bahwa, segala jenis mode yang bersumber dari akal dan fitrahlah yang mampu menghantarkan manusia untuk dapat menuju kesempurnaannya sebagai manusia.

Dengan kata lain, manusia akan menjadi ‘manusia’ dengan budaya akal dan fitrah. Sebaliknya, manusia akan menjadi ‘hewan’ jika hanya menitikberatkan pada budaya hewani yang lebih menonjolkan keindahan zahir dan sisi glamournya saja.[6] Sebagaimana yang telah diketahui dalam pokok-pokok bahasan teologi bahwa, gabungan antara ajaran akal dan fitrah ini hanya terwujud pada ajaran agama. Dan karena agama di sisi Allah hanyalah Islam,[7] maka mode, seni dan budaya yang islami-lah yang mampu menghantarkan manusia kepada kesempurnaannya. Dari penjelasan di atas, akhirnya muncul apa yang disebut dengan mode islami, seni islami dan budaya Islam yang “Busana Muslimah” adalah salah satu bagian dari wujud luaran (ekstensi) konsep tersebut.

Walaupun dalam perwujudan busana muslimah akan berbeda dan dapat disesuaikan dengan kultur wilayah masing-masing, namun terdapat kriteria universal dan batasan umum sebuah busana masuk kategori busana muslimah, antara lain; bukan busana yang membuat ‘menarik perhatian’ atau ‘aneh’ baik dari sisi warna maupun bentuk (syuhrat), tidak transparan, dan lain sebagainya. Semua ini kembali kepada hikmah yang tersirat dalam hijab islami, bahwa hijab berfungsi sebagai penjagaan, bukan bentuk pemenjaraan dan pengekangan. Dengan hijab islami, wanita dikenal dari sisi insaniahnya, bukan sisi gendernya. Dengan hijab islami, wanita dipandang dengan pandangan Ilahi bukan pandangan syahwani.

Etika dan Agama
Sebagaimana klaim konsep Islam sebagai agama paripurna, maka konsekuensinya adalah agama tersebut harus mencakup segala aspek kehidupan manusia. Oleh karenanya, tiada satu fenomena pun di alam ini kecuali terdapat hukumnya dalam agama tersebut, termasuk masalah etika dan budaya. Di sisi lain, dilihat dari segi istilah, kata etika mencakup tata krama (adab) yang disesuaikan dengan kearifan lokal dan adat istiadat setempat. Etika juga mencakup akhlak yang banyak dipengaruhi oleh norma-norma agamis yang bersifat global. Etika dengan pengertian pertama di atas tadi, selama tidak bertentangan dengan ajaran dan norma agama, maka selayaknya dijunjung tinggi dan dilestarikan. Jadi, sebagai orang agamis, hanya norma dan ajaran agamalah yang menjadi filter atas tata krama dan adat istiadat lokal. Hal itu dikarenakan, keyakinan kita akan kebenaran agama dan konsekwensi kita sebagai pemeluk agama Ilahi. Sedang berkaitan dengan etika yang berarti akhlak, dimana Islam sendiri sangat menjunjung tinggi akhlak ini -sehingga disebut sebagai penyebab diutusnya Rasul Islam sebagai penyempurna akhlak mulia- maka dapat dipastikan ia sangat sesuai dengan ajaran akal dan seruan fitrah. Etika dalam pengertian ini bersifat universal, global dan tidak dipengaruhi oleh batasan-batasan geografis, budaya lokal dan adat istiadat setempat. Dari sini jelaslah bahwa antara etika –dengan dua pengertian di atas- tidak mungkin terpisah dengan ajaran agama, harus tetap “dalam bingkai ajaran agama” dengan arti yang luas.[8] Usaha apapun untuk memisahkan antara etika dan agama dengan mendahulukan salah satu dari yang lainnya, sama halnya dengan pencampakkan agama itu sendiri. Dari sini akhirnya, antara berbusana muslimah dengan menjaga etika Islam pun harus ada keselarasan.

Penutup
Dari tulisan ringkas ini dapat diambil kesimpulan bahwa, mode, seni, budaya dan etika yang masih masuk dalam bingkai ajaran agamalah yang sanggup menghantarkan manusia pada kesempurnaan hakiki sebagai manusia, termasuk dalam masalah mode busana yang berfungsi menjaga etika kepada Allah dan lingkungan sekitar, terkhusus sesama komunitas manusia. Dari sini pula akhirnya muncul apa yang disebut dengan “Mode Busana Muslimah” yang masih masuk dalam koridor ajaran agama Islam. Dan dikarenakan ajaran agama Islam bersumber dari Dzat Yang Maha Suci dan Sakral,[9] maka mode busana yang bersandar pada ajaran sakral itu pun bersifat sakral pula. Jadi, segala bentuk pelecehan terhadap busana muslimah –dengan berbagai modenya yang masih masuk kategori busana muslimah- sama halnya dengan melecehkan ajaran agama Allah. Selain itu, menyebarkan budaya busana muslimah, sama halnya dengan menyebarkan salah satu ajaran Allah. [islamalternatif.com]


syarat-syarat busana muslimah sempurna ialah:
1. Menutup aurat seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan.
2. Tidak transparan, karena memang falsafh hijab ialah menutupi tubuh.
3. Tidak ketat, sehingga bentuk tubuh terlihat jelas.
4. Dari segi warna, tidak terlalu mencolok sehingga menarik perhatian (Syahwat) lawan jenis.

Tampil rapi dan menarik (bukan mengundang syahwat) tidak mesti dengan berias dan berpenampilan mencolok. Kebersihan, kerapian, dan alamiah akan mencerminkan kepribadian yang sebenarnya. Karena hikmah dibalik jilbab ialah agar perempuan tampil dengan lebih berwibawa.

Dalam menjalankan ajaran agama pasti terdapat kesulitan, namun jika dilakukan karena cinta kita kepada-Nya semua itu akan menjadi mudah. Falsafah yang tersirat dari syarat-syarat busana muslimah di atas, ialah agar wanita muslimah dipandang bukan dari tubuh dan gendernya kan tetapi dari segi potensi, keahlian, kemuliaan dan lain-lain…Dengan berhijab wanita muslimah telah memproklamirkan akan kebebasan dirinya dari penguasaan sistem patriarki yang akan menikmati tubuhnya secara ilegal.

------------------------------------------------------------------------------------------
Penulis: Mahasiswi Pasca Sarjana Jurusan Tafsir al-Quran, Sekolah Tinggi Bintul-Huda – Qom –Iran.

Ket:
Makalah ini disampaikan dalam acara diskusi tentang “Busana Muslimah; antara Mode dan Etika” di aula Hotel Shafa – Qom, yang diselenggarakan pada tanggal 27-Juli-2006 oleh Lembaga Otonomi Fatimiyah (LOF) – [HPI] Himpunan Pelajar Indonesia Republik IslamIran. Pembanding Mbak Ratih Sanggarwati (Model, Perancang Busana Muslimah dan Penyiar TV)
[3] QS al-A’raf: 27
[4] QS al-A’raf: 26
[5] QS an-Nur: 31 dan al-Ahzab: 59
[6] QS Muhammad: 12
[7] QS Aali-Imran: 19 dan 85
[8] Ungkapan “selama dalam bingkai ajaran agama” di atas tadi tidak boleh dipahami secara sempit dan tekstual, sebagaimana yang dilakukan sebagian kelompok muslim. Karena hal itu selain akan menyebabkan keluar dari maksud dan tujuan Penurun syariat, juga terjadinya penyimpangan dari hikmah penurunan syariat. Semua mode, seni dan budaya selama tidak ada pelarangan oleh agama maka dihukumi boleh (mubah), karena hal itu masuk kategori taqrir (persetujuan).
[9] QS al-Baqarah: 138

Tulisan ini salinan diambil dari sumber : http://islamfeminis.wordpress.com/

Rabu, 30 Januari 2008

Soedarbo's Family Gathering


RAMAH CANDA KEPALA KELUARGA

Oleh : Uus Husni Sofyan

“Mukmin yang sempurna imannya ialah yang terbaik budi pekertinya dan lunak jenaka kepada keluarganya. Dan sebaik-baik kamu ialah yang terbaik kepada istrinya.” (HR Attirmidzi)

Keluarga adalah tonggak Negara. Keluarga yang baik & terjaga keharmonisannya berarti turut menjaga tegaknya Negara. Sebaliknya, dari keluarga yang buruk tidak terpelihara keharmonisannya akan melahirkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang buruk dan membebani negara.

Keluarga juga diibaratkan ibarat bahtera. Dan sebaik-baik bahtera adalah yang baik nahkodanya. Ia adalah kepala dari Anak Buah kapal (ABK). Pengatur manajemen kapal. Ia yang menjadwalkan berlayar dan berlabuhnya kapal, ia yang menetapkan arah dan tujuan kapal, ia yang menentukan naik & turunnya layar kapal, bahkan ia pulalah yang menentukan layak tidaknya sebuah kapal berlayar. Dalam keluarga, suamilah nahkoda itu.

Allah SWT berfirman :

Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS Annisa : 34)

Maksudnya, tanpa bermaksud mengabaikan kelebihan dari seorang wanita, seorang lelaki, karena kemampuan fisiknya, karena watak pembawaannya, karena keleluasaan pergaulannya, secara kudrat seorang lelaki dalam berkeluarga ia adalah pemimpin perempuan, tidak sebaliknya. Oleh karena itu lelakilah yang disebut kepala keluarga. Selemah-lemahnya seorang lelaki, didalam berumah tangga ia tetap simbol kepala keluarga yang paling bertanggung jawab dan berkewajiban memberikan perlindungan terhadap keluarga : anak & istri. Sabda Rasulullah SAWW :

“Seorang lelaki itu penggembala (pemimpin) didalam rumah tangganya, dan bertanggung jawab terhadap gembalanya (yang dipimpinnya).(HR Bukhari)

Karena lelaki itu pemimpin, kepala keluarga, maka harus bisa memimpin. Selain tugas melindungi juga berkewajiban menuntun yang dipimpinnya. Diantara bentuk pimpinan dan tuntunannya adalah membawa keluarga pada suasana nyaman dan menyenangkan dalam menjalani hidup & kehidupan. Bagi sebuah keluarga, rasanya tidak ada yang lebih nyaman dan menyenangkan dalam menjalani kehidupan selain ketika memiliki seorang kepala keluarga yang berbudi pekerti baik dan lunak jenaka alias ramah menemani mereka.

Kepala keluarga yang ramah menyegarkan suasana seisi rumah, keramahannya bisa mendatangkan rasa nyaman dan tentram bagi keluarga. Dipastikan sikap ramah kepala keluarga berpengaruh terhadap pembentukan pribadi yang ramah pula kepada anggota keluarga yang lain : Istri, anak, pembantu, semua menjadi ikut ramah.

Lebih dari sekedar itu bahkan, keramahan yang terbentuk diantara anggota keluarga bisa menghilangkan perasaan jelek, dengki, canggung, sungkan, buruk sangka dan mungkin bermusuhan diantara anggota keluarga. Dan ini secara otomatis membentuk jalan komunikasi yang baik diantara anggota keluarga, akibatnya? tentu akan lebih menumbuhkan ikatan emosi dan ikatan batin yang lebih kuat diantara sesama anggota keluarga, sehingga terjagalah rasa saling cinta, sayang, dan saling menjaga & melindungi.

Sebagai seorang kepala keluarga, Rasulullah SAWW mencontohi kita dengan sikap demikian. Beliau senantiasa bersikap ramah dengan keluarganya. Tidak terkecuali kepada anak kecil sekalipun. Sekedar untuk menyenangkan hati cucunya yang masih kanak-kanak, beliau tunjukan sikap ramah dengan berperan layaknya kanak-kanak sebaya mereka tatkala menemani bermain. Dalam riwayat diceritakan, untuk menyenangkan hati mereka beliau bermain kuda-kudaan dan memanggul Hasan Husain dipunggungnya. Ini menunjukan kepedulian beliau akan pengaruh sikap manis & ramah terhadap keluarga.

Ramah, memang siapa yang membenci? Dimana ada orang yang membenci sikap ramah? Sebaliknya sikap ramah meembuat manis & menghibur setiap keadaan. Sabda Rasulullah SAWW :

Sesungguhnya ramah itu tidak terletak pada sesuatu melainkan menambah kebagusan, dan tiada tercabut dari sesuatu melainkan menambah kejelekkan.” (HR Muslim)

Bila sudah demikian ramah seorang kepala keluarga, bagi keluarga tidak ada sebaik-baik tempat kembali untuk mereka berkumpul, bertanya dan berembuk mengenai persoalan yang menimpa diri melainkan membawa dan merembukannya dengan kepala keluarga dan keluarga di rumah. Karena ia tahu, disanalah setidaknya ia akan merasakan nyaman untuk mendiskusikan dan mendapat jawaban atas setiap persoalannya, sekecil apapaun jawabannya itu. Inilah bagian apa yang disebut Baiti jannati: Rumahku syurgaku. Rumah serasa syurga, tempat yang menyenangkan untuk bertemu, bertukar pikiran, dan menyelesaikan masalah. Semua ini tercipta karena kepemimpinan yang lunak ramah dari sang kepala keluarga. Dari keluarga yang terpelihara keharmonisannya seperti ini, kita semua yakin insya Allah akan terlahir generasi-generasi baik berprestasi yang akan menjadi tonggak masyarakat, tonggak Negara.
Sebaliknya, dari kepala keluarga yang kaku, keras, cenderung masa bodoh terhadap keluarga jangan berharap banyak akan kebaikannya. Ia membawa suasana hambar dan malas keluarga. Komunikasi menjadi barang mahal yang tidak ternilai. Sekedar urusan tegur sapa orang serumah saja seringkali menjadi persoalan bagi keluarga, apalagi untuk memuji-muji atau saling mengingatkan. Rumah bisa-bisa menjadi tempat yang paling tidak disukai bagi s eluruh anggota keluarga. Keluarga yang tumbuh dengan keadaan yang demikian berpotensi mencetak setiap anggotanya untuk menjadi seorang yang egois dan masa bodoh terhadap lingkungannya. Jangankan dengan orang luar, dengan saudara serumah sendiri ia malas dan enggan untuk saling memperhatikan. Bahkan, kurangnya kepedulian dan tidak terlatihnya motor perasaan menangkap peristiwa yang menyedihkan, memprihatinkan, atau memerlukan bantuan dari lingkungan sekitar membuat anggota keluarga yang demikian, biasannya membuat anak-anak mereka “tumbuh sekedar tumbuh”. Tidak ada atau kurang bergairah untuk menjadi pribadi-pribadi yang berprestasi atau maju dilingkungan pergaulannya. Semua karena kepemimpinan yang kaku hambar dari kepala keluarga.

Apalagi kalau kepala keluarga itu tidak sekedar kaku dan kurang ramah, tetapi juga pemarah. Ia bisa-bisa membawa suasana neraka kedalam rumah. Pembawaannya yang kaku hambar juga pemarah bisa membawa suasana ketakutan dan mencekam para penghuni rumah. Bahkan seringkali membuat panik & kusut berpikir seisi rumah. Persoalan apapun yang kecil bisa menjadi besar dan memusingkan penghuni rumah. Mana ada anggota keluarga yang mau berembuk dengan kepala keluarga yang demikian? Jangankan untuk berkarya dan berkreasi, untuk rasa nyaman saja penghuni rumah serasa tidak memilikinya. Istri menjadi tertekan serba salah akan sikap kaku hambar sang suami. Sementara anak-anak menjadi pemalas, bodoh, keras hati dan penakut, atau malah jahat karena kurangnya rasa perlindungan dan bimbingan dari keluarga.

Inilah sejelek-jelek kepala keluarga yang mencelakakan. Bukan saja merugikan tapi juga merusak masa depan banyak orang yang ada dibawah pimpinannya. Dari keluarga yang demikian kita tidak berharap banyak akan kebaikannya. Jangankan untuk membangun masyarakat & bela negara. Untuk urusan dirinya sendiri saja mereka malah memerlukan pertolongan.

Maka itu Rasulullah SAWW katakan, diantara ciri mencapai kesempurnaan iman seorang kepala keluarga diantaranya apabila ia terlihat berbudi pekerti baik & ramah kepada keluarganya. Karena sikap ramah jenaka kepada istri dan keluarga adalah menunjukan kedalaman hati dan pemahaman yang luas dalam beragama. Singkatnya, ia orang berilmu ahli hikmah!

Maka, marilah kita berbuat ramah kepada keluarga. Toh, tidak ada orang yang akan dirugikan oleh sikap ramah kita. Sebaliknya malah mungkin keluarga dan orang banyak senang atau terhibur oleh sikap kita. Sekedar mengingatkan, kenapa Rasulullah SAWW mewasiatkan kepada kita untuk senantiasa berbuat baik dan memperhatikan betul-betul kepada anak-anak yatim. Bukan sekedar soal hartanya yang ditakuti tidak ada, lebih dari itu adalah kasih sayang figur ayah sebagai kepala keluarga yang tidak dimiliki oleh anak yatim, siapa yang bisa menggantikannya?

Sebagai kepala keluarga, jangan “meyatimkan” anak-anak kita dengan pelit berkasih sayang terhadap mereka. Rawat, pelihara dan buai mesralah anak-anak kita dengan kasih sayang dan sikap ramah.

Kepada mereka kepala keluarga yang mungkin memiliki watak keras, kaku, hambar apalagi pemarah dan egois terhadap keluarga, alangkah baiknya Anda belajar berbuat ramah kepada orang lain, terlebih itu keluarga. Teringatlah hadist Nabi SAWW untuk kita renungkan bersama :

Segala seuatu yang tidak ada padanya dzikrullah adalah sia-sia dan gurauan belaka, kecuali empat perkara, diantaranya adalah… dan ramah canda seorang suami terhadap keluarganya. “

“Neraka itu diharamkan atas setiap orang yang lunak, ramah, lapang dada dan mudah baik hubungannya.”
(HR Attirmidzi)

“Sesungguhnya Allah lunak dan tenang. Suka pada ketenangan pada semua urusan.” (HR Bukhari Muslim)