Kamis, 31 Januari 2008

Priv Doc. Soedarbo's

Agama tidak pernah melarang manusia untuk mengikuti mode. Karena mode dan seni adalah salah satu pengejawantaan dari budaya. Sedang budaya adalah bagian primer dari kehidupan manusia, dimana tanpa budaya manusia tidak akan dapat menuju kesempurnaan yang diidamkan oleh hati sanubari setiap manusia berakal sehat. Akan tetapi, Islam adalah agama yang hendak membebaskan manusia dari berbagai bentuk perbudakan dan keterkekangan dari segala macam belenggu, termasuk diperbudak dan dikekang oleh mode. Mode tidak lebih hanya sekedar sarana untuk mencapai kesempurnaan, bukan tujuan utama.
————————————————————–


Busana Muslimah; antara Mode dan Etika

Oleh: Euis Daryati

Prolog
Sejarah busana lahir seiring dengan dengan sejarah peradaban manusia itu sendiri. Oleh karenanya, busana sudah ada sejak manusia diciptakan. Kesimpulan ini dapat diambil dari firman Allah swt yang berbunyi : “Wahai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syetan sebagaimana ia telah mengeluarkan ibu-bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya…”.[3]

Busana memiliki fungsi yang begitu banyak, dari menutup anggota tertentu dari tubuh hingga penghias tubuh. Sebagaimana yang telah diterangkan pula oleh Allah dalam al-Qur’an, yang mengisyaratkan akan fungsi busana; “Wahai anak Adam (manusia), sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi (aurat) tubuhmu dan untuk perhiasan…”.[4] Dari tata cara, bentuk dan mode berbusana, manusia dapat dinilai kepribadiannya. Dengan kata lain, cara berbusana merupakan cermin kepribadian seseorang.

Konsekwensi sebagai manusia agamis adalah berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan agamanya. Salah satu bentuk perintah agama Islam adalah perintah untuk mengenakan busana yang menutup seluruh aurat yang tidak layak untuk dinampakkan pada orang lain yang bukan muhrim.[5] Dari situlah akhirnya muncul apa yang disebut dengan istilah “Busana Muslimah”.

Busana muslimah adalah busana yang sesuai dengan ajaran Islam, dan pengguna gaun tersebut mencerminkan seorang muslimah yang taat atas ajaran agamanya dalam tata cara berbusana. Busana muslimah bukan hanya sekedar symbol, melainkan dengan mengenakannya, berarti seorang perempuan telah memproklamirkan kepada makhluk Allah akan keyakinan, pandangannya terhadap dunia, dan jalan hidup yang ia tempuh, dimana semua itu didasarkan pada keyakinan mendalam terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Kuasa.

Budaya dan Esensi Manusia
Berbicara tentang mode, berarti berbicara tentang seni. Berbicara tentang seni berarti berbicara tentang budaya. Sedang pokok bahasan budaya berarti tidak lepas dari pembicaraan tentang manusia, sebagai pelaku sekaligus obyek budaya. Atas dasar itulah, dapat diambil konklusi bahwa, berbicara tentang mode tidak akan lepas dari pembicaraan tentang esensi manusia sebagai pondasi dasarnya, dan kesempurnaan manusia sebagai tujuan akhir segala bentuk ketaatan. Semua ini memiliki hubungan vertikal yang sangat erat kaitannya antara satu dengan lainnya.

Melihat dari fenomena keragaman budaya yang ada di dunia ini, yang terkadang antara satu budaya dengan yang lain saling bertentangan, maka perlu ada parameter khusus yang menjadi tolok ukur persesuain budaya-budaya yang ada dengan esensi dasar manusia. Sehingga dari situ akan jelas, manakah budaya yang masih sesuai dengan esensi dasar manusia, dan manakah yang telah menyimpang darinya? Manusia memiliki dua dimensi; dimensi lahiriah (bersifat materi), dan dimensi batiniah (non-materi) yang biasa disebut dengan jiwa/ruh. Menurut pandangan dunia agamis, kesempurnaan sejati manusia bukan terletak pada kesempurnaan sisi materi, akan tetapi, kesempurnaan sisi non-materilah yang menjadi tolok ukur kesempurnaan manusia. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa, esensi dasar manusia pun terletak pada sisi non-materi dan jiwanya. Maka, kesempurnaan manusia terletak pada kesempurnaan jiwa dan ruhnya, bukan terletak pada kesempurnaan sisi materinya. Namun, hal ini bukan berarti sisi materi manusia harus diterlantarkan. Karena bagaimanapun juga, sisi materi dan lahiriah manusia pun memiliki peran penting dalam memberikan lahan pada kesempurnaan jiwanya. Tanpa dimensi materi, kesempurnaan sejati manusia –yang terletak pada sisi non-materi- tidak akan terwujud. Terbukti, semua ajaran agama tidak akan terlaksana tanpa bantuan sisi zahir dan materi manusia. Sisi non-materi yang menjadi esensi terpenting dari manusia adalah; akal dan fitrah. Dengan dua hal itulah akhirnya manusia dinobatkan sebagai makhluk yang paling utama dari sekian banyak makhluk-makhluk Tuhan.

Akal yang lebih banyak berfungsi untuk membedakan baik dan buruk, dan fitrah yang selalu menyeru kepada kebenaran, kebaikan, keindahan dan kesempurnaan, adalah modal utama kesempurnaan manusia. Jika dua hal itu diterlantarkan, niscaya manusia tidak layak disebut sebagai manusia seutuhnya. Agama tidak pernah melarang manusia untuk mengikuti mode. Karena mode dan seni adalah salah satu pengejawantaan dari budaya. Sedang budaya adalah bagian primer dari kehidupan manusia, dimana tanpa budaya manusia tidak akan dapat menuju kesempurnaan yang diidamkan oleh hati sanubari setiap manusia berakal sehat. Akan tetapi, Islam adalah agama yang hendak membebaskan manusia dari berbagai bentuk perbudakan dan keterkekangan dari segala macam belenggu, termasuk diperbudak dan dikekang oleh mode.

Mode tidak lebih hanya sekedar sarana untuk mencapai kesempurnaan, bukan tujuan utama. Lantas mode, seni dan budaya yang bagaimanakah yang mampu menghantarkan manusia kepada kesempurnaan manusia? Hanya budaya yang bersumber dari akal sehat dan fitrah suci manusia saja yang mampu menghantarkan manusia kepada kesempurnaan sejatinya, bukan dari nafsu hewani yang hanya menjurus pada bidang material saja. Dari situ, dapat diambil benang merah bahwa, segala jenis mode yang bersumber dari akal dan fitrahlah yang mampu menghantarkan manusia untuk dapat menuju kesempurnaannya sebagai manusia.

Dengan kata lain, manusia akan menjadi ‘manusia’ dengan budaya akal dan fitrah. Sebaliknya, manusia akan menjadi ‘hewan’ jika hanya menitikberatkan pada budaya hewani yang lebih menonjolkan keindahan zahir dan sisi glamournya saja.[6] Sebagaimana yang telah diketahui dalam pokok-pokok bahasan teologi bahwa, gabungan antara ajaran akal dan fitrah ini hanya terwujud pada ajaran agama. Dan karena agama di sisi Allah hanyalah Islam,[7] maka mode, seni dan budaya yang islami-lah yang mampu menghantarkan manusia kepada kesempurnaannya. Dari penjelasan di atas, akhirnya muncul apa yang disebut dengan mode islami, seni islami dan budaya Islam yang “Busana Muslimah” adalah salah satu bagian dari wujud luaran (ekstensi) konsep tersebut.

Walaupun dalam perwujudan busana muslimah akan berbeda dan dapat disesuaikan dengan kultur wilayah masing-masing, namun terdapat kriteria universal dan batasan umum sebuah busana masuk kategori busana muslimah, antara lain; bukan busana yang membuat ‘menarik perhatian’ atau ‘aneh’ baik dari sisi warna maupun bentuk (syuhrat), tidak transparan, dan lain sebagainya. Semua ini kembali kepada hikmah yang tersirat dalam hijab islami, bahwa hijab berfungsi sebagai penjagaan, bukan bentuk pemenjaraan dan pengekangan. Dengan hijab islami, wanita dikenal dari sisi insaniahnya, bukan sisi gendernya. Dengan hijab islami, wanita dipandang dengan pandangan Ilahi bukan pandangan syahwani.

Etika dan Agama
Sebagaimana klaim konsep Islam sebagai agama paripurna, maka konsekuensinya adalah agama tersebut harus mencakup segala aspek kehidupan manusia. Oleh karenanya, tiada satu fenomena pun di alam ini kecuali terdapat hukumnya dalam agama tersebut, termasuk masalah etika dan budaya. Di sisi lain, dilihat dari segi istilah, kata etika mencakup tata krama (adab) yang disesuaikan dengan kearifan lokal dan adat istiadat setempat. Etika juga mencakup akhlak yang banyak dipengaruhi oleh norma-norma agamis yang bersifat global. Etika dengan pengertian pertama di atas tadi, selama tidak bertentangan dengan ajaran dan norma agama, maka selayaknya dijunjung tinggi dan dilestarikan. Jadi, sebagai orang agamis, hanya norma dan ajaran agamalah yang menjadi filter atas tata krama dan adat istiadat lokal. Hal itu dikarenakan, keyakinan kita akan kebenaran agama dan konsekwensi kita sebagai pemeluk agama Ilahi. Sedang berkaitan dengan etika yang berarti akhlak, dimana Islam sendiri sangat menjunjung tinggi akhlak ini -sehingga disebut sebagai penyebab diutusnya Rasul Islam sebagai penyempurna akhlak mulia- maka dapat dipastikan ia sangat sesuai dengan ajaran akal dan seruan fitrah. Etika dalam pengertian ini bersifat universal, global dan tidak dipengaruhi oleh batasan-batasan geografis, budaya lokal dan adat istiadat setempat. Dari sini jelaslah bahwa antara etika –dengan dua pengertian di atas- tidak mungkin terpisah dengan ajaran agama, harus tetap “dalam bingkai ajaran agama” dengan arti yang luas.[8] Usaha apapun untuk memisahkan antara etika dan agama dengan mendahulukan salah satu dari yang lainnya, sama halnya dengan pencampakkan agama itu sendiri. Dari sini akhirnya, antara berbusana muslimah dengan menjaga etika Islam pun harus ada keselarasan.

Penutup
Dari tulisan ringkas ini dapat diambil kesimpulan bahwa, mode, seni, budaya dan etika yang masih masuk dalam bingkai ajaran agamalah yang sanggup menghantarkan manusia pada kesempurnaan hakiki sebagai manusia, termasuk dalam masalah mode busana yang berfungsi menjaga etika kepada Allah dan lingkungan sekitar, terkhusus sesama komunitas manusia. Dari sini pula akhirnya muncul apa yang disebut dengan “Mode Busana Muslimah” yang masih masuk dalam koridor ajaran agama Islam. Dan dikarenakan ajaran agama Islam bersumber dari Dzat Yang Maha Suci dan Sakral,[9] maka mode busana yang bersandar pada ajaran sakral itu pun bersifat sakral pula. Jadi, segala bentuk pelecehan terhadap busana muslimah –dengan berbagai modenya yang masih masuk kategori busana muslimah- sama halnya dengan melecehkan ajaran agama Allah. Selain itu, menyebarkan budaya busana muslimah, sama halnya dengan menyebarkan salah satu ajaran Allah. [islamalternatif.com]


syarat-syarat busana muslimah sempurna ialah:
1. Menutup aurat seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan.
2. Tidak transparan, karena memang falsafh hijab ialah menutupi tubuh.
3. Tidak ketat, sehingga bentuk tubuh terlihat jelas.
4. Dari segi warna, tidak terlalu mencolok sehingga menarik perhatian (Syahwat) lawan jenis.

Tampil rapi dan menarik (bukan mengundang syahwat) tidak mesti dengan berias dan berpenampilan mencolok. Kebersihan, kerapian, dan alamiah akan mencerminkan kepribadian yang sebenarnya. Karena hikmah dibalik jilbab ialah agar perempuan tampil dengan lebih berwibawa.

Dalam menjalankan ajaran agama pasti terdapat kesulitan, namun jika dilakukan karena cinta kita kepada-Nya semua itu akan menjadi mudah. Falsafah yang tersirat dari syarat-syarat busana muslimah di atas, ialah agar wanita muslimah dipandang bukan dari tubuh dan gendernya kan tetapi dari segi potensi, keahlian, kemuliaan dan lain-lain…Dengan berhijab wanita muslimah telah memproklamirkan akan kebebasan dirinya dari penguasaan sistem patriarki yang akan menikmati tubuhnya secara ilegal.

------------------------------------------------------------------------------------------
Penulis: Mahasiswi Pasca Sarjana Jurusan Tafsir al-Quran, Sekolah Tinggi Bintul-Huda – Qom –Iran.

Ket:
Makalah ini disampaikan dalam acara diskusi tentang “Busana Muslimah; antara Mode dan Etika” di aula Hotel Shafa – Qom, yang diselenggarakan pada tanggal 27-Juli-2006 oleh Lembaga Otonomi Fatimiyah (LOF) – [HPI] Himpunan Pelajar Indonesia Republik IslamIran. Pembanding Mbak Ratih Sanggarwati (Model, Perancang Busana Muslimah dan Penyiar TV)
[3] QS al-A’raf: 27
[4] QS al-A’raf: 26
[5] QS an-Nur: 31 dan al-Ahzab: 59
[6] QS Muhammad: 12
[7] QS Aali-Imran: 19 dan 85
[8] Ungkapan “selama dalam bingkai ajaran agama” di atas tadi tidak boleh dipahami secara sempit dan tekstual, sebagaimana yang dilakukan sebagian kelompok muslim. Karena hal itu selain akan menyebabkan keluar dari maksud dan tujuan Penurun syariat, juga terjadinya penyimpangan dari hikmah penurunan syariat. Semua mode, seni dan budaya selama tidak ada pelarangan oleh agama maka dihukumi boleh (mubah), karena hal itu masuk kategori taqrir (persetujuan).
[9] QS al-Baqarah: 138

Tulisan ini salinan diambil dari sumber : http://islamfeminis.wordpress.com/

Rabu, 30 Januari 2008

Soedarbo's Family Gathering


RAMAH CANDA KEPALA KELUARGA

Oleh : Uus Husni Sofyan

“Mukmin yang sempurna imannya ialah yang terbaik budi pekertinya dan lunak jenaka kepada keluarganya. Dan sebaik-baik kamu ialah yang terbaik kepada istrinya.” (HR Attirmidzi)

Keluarga adalah tonggak Negara. Keluarga yang baik & terjaga keharmonisannya berarti turut menjaga tegaknya Negara. Sebaliknya, dari keluarga yang buruk tidak terpelihara keharmonisannya akan melahirkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang buruk dan membebani negara.

Keluarga juga diibaratkan ibarat bahtera. Dan sebaik-baik bahtera adalah yang baik nahkodanya. Ia adalah kepala dari Anak Buah kapal (ABK). Pengatur manajemen kapal. Ia yang menjadwalkan berlayar dan berlabuhnya kapal, ia yang menetapkan arah dan tujuan kapal, ia yang menentukan naik & turunnya layar kapal, bahkan ia pulalah yang menentukan layak tidaknya sebuah kapal berlayar. Dalam keluarga, suamilah nahkoda itu.

Allah SWT berfirman :

Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS Annisa : 34)

Maksudnya, tanpa bermaksud mengabaikan kelebihan dari seorang wanita, seorang lelaki, karena kemampuan fisiknya, karena watak pembawaannya, karena keleluasaan pergaulannya, secara kudrat seorang lelaki dalam berkeluarga ia adalah pemimpin perempuan, tidak sebaliknya. Oleh karena itu lelakilah yang disebut kepala keluarga. Selemah-lemahnya seorang lelaki, didalam berumah tangga ia tetap simbol kepala keluarga yang paling bertanggung jawab dan berkewajiban memberikan perlindungan terhadap keluarga : anak & istri. Sabda Rasulullah SAWW :

“Seorang lelaki itu penggembala (pemimpin) didalam rumah tangganya, dan bertanggung jawab terhadap gembalanya (yang dipimpinnya).(HR Bukhari)

Karena lelaki itu pemimpin, kepala keluarga, maka harus bisa memimpin. Selain tugas melindungi juga berkewajiban menuntun yang dipimpinnya. Diantara bentuk pimpinan dan tuntunannya adalah membawa keluarga pada suasana nyaman dan menyenangkan dalam menjalani hidup & kehidupan. Bagi sebuah keluarga, rasanya tidak ada yang lebih nyaman dan menyenangkan dalam menjalani kehidupan selain ketika memiliki seorang kepala keluarga yang berbudi pekerti baik dan lunak jenaka alias ramah menemani mereka.

Kepala keluarga yang ramah menyegarkan suasana seisi rumah, keramahannya bisa mendatangkan rasa nyaman dan tentram bagi keluarga. Dipastikan sikap ramah kepala keluarga berpengaruh terhadap pembentukan pribadi yang ramah pula kepada anggota keluarga yang lain : Istri, anak, pembantu, semua menjadi ikut ramah.

Lebih dari sekedar itu bahkan, keramahan yang terbentuk diantara anggota keluarga bisa menghilangkan perasaan jelek, dengki, canggung, sungkan, buruk sangka dan mungkin bermusuhan diantara anggota keluarga. Dan ini secara otomatis membentuk jalan komunikasi yang baik diantara anggota keluarga, akibatnya? tentu akan lebih menumbuhkan ikatan emosi dan ikatan batin yang lebih kuat diantara sesama anggota keluarga, sehingga terjagalah rasa saling cinta, sayang, dan saling menjaga & melindungi.

Sebagai seorang kepala keluarga, Rasulullah SAWW mencontohi kita dengan sikap demikian. Beliau senantiasa bersikap ramah dengan keluarganya. Tidak terkecuali kepada anak kecil sekalipun. Sekedar untuk menyenangkan hati cucunya yang masih kanak-kanak, beliau tunjukan sikap ramah dengan berperan layaknya kanak-kanak sebaya mereka tatkala menemani bermain. Dalam riwayat diceritakan, untuk menyenangkan hati mereka beliau bermain kuda-kudaan dan memanggul Hasan Husain dipunggungnya. Ini menunjukan kepedulian beliau akan pengaruh sikap manis & ramah terhadap keluarga.

Ramah, memang siapa yang membenci? Dimana ada orang yang membenci sikap ramah? Sebaliknya sikap ramah meembuat manis & menghibur setiap keadaan. Sabda Rasulullah SAWW :

Sesungguhnya ramah itu tidak terletak pada sesuatu melainkan menambah kebagusan, dan tiada tercabut dari sesuatu melainkan menambah kejelekkan.” (HR Muslim)

Bila sudah demikian ramah seorang kepala keluarga, bagi keluarga tidak ada sebaik-baik tempat kembali untuk mereka berkumpul, bertanya dan berembuk mengenai persoalan yang menimpa diri melainkan membawa dan merembukannya dengan kepala keluarga dan keluarga di rumah. Karena ia tahu, disanalah setidaknya ia akan merasakan nyaman untuk mendiskusikan dan mendapat jawaban atas setiap persoalannya, sekecil apapaun jawabannya itu. Inilah bagian apa yang disebut Baiti jannati: Rumahku syurgaku. Rumah serasa syurga, tempat yang menyenangkan untuk bertemu, bertukar pikiran, dan menyelesaikan masalah. Semua ini tercipta karena kepemimpinan yang lunak ramah dari sang kepala keluarga. Dari keluarga yang terpelihara keharmonisannya seperti ini, kita semua yakin insya Allah akan terlahir generasi-generasi baik berprestasi yang akan menjadi tonggak masyarakat, tonggak Negara.
Sebaliknya, dari kepala keluarga yang kaku, keras, cenderung masa bodoh terhadap keluarga jangan berharap banyak akan kebaikannya. Ia membawa suasana hambar dan malas keluarga. Komunikasi menjadi barang mahal yang tidak ternilai. Sekedar urusan tegur sapa orang serumah saja seringkali menjadi persoalan bagi keluarga, apalagi untuk memuji-muji atau saling mengingatkan. Rumah bisa-bisa menjadi tempat yang paling tidak disukai bagi s eluruh anggota keluarga. Keluarga yang tumbuh dengan keadaan yang demikian berpotensi mencetak setiap anggotanya untuk menjadi seorang yang egois dan masa bodoh terhadap lingkungannya. Jangankan dengan orang luar, dengan saudara serumah sendiri ia malas dan enggan untuk saling memperhatikan. Bahkan, kurangnya kepedulian dan tidak terlatihnya motor perasaan menangkap peristiwa yang menyedihkan, memprihatinkan, atau memerlukan bantuan dari lingkungan sekitar membuat anggota keluarga yang demikian, biasannya membuat anak-anak mereka “tumbuh sekedar tumbuh”. Tidak ada atau kurang bergairah untuk menjadi pribadi-pribadi yang berprestasi atau maju dilingkungan pergaulannya. Semua karena kepemimpinan yang kaku hambar dari kepala keluarga.

Apalagi kalau kepala keluarga itu tidak sekedar kaku dan kurang ramah, tetapi juga pemarah. Ia bisa-bisa membawa suasana neraka kedalam rumah. Pembawaannya yang kaku hambar juga pemarah bisa membawa suasana ketakutan dan mencekam para penghuni rumah. Bahkan seringkali membuat panik & kusut berpikir seisi rumah. Persoalan apapun yang kecil bisa menjadi besar dan memusingkan penghuni rumah. Mana ada anggota keluarga yang mau berembuk dengan kepala keluarga yang demikian? Jangankan untuk berkarya dan berkreasi, untuk rasa nyaman saja penghuni rumah serasa tidak memilikinya. Istri menjadi tertekan serba salah akan sikap kaku hambar sang suami. Sementara anak-anak menjadi pemalas, bodoh, keras hati dan penakut, atau malah jahat karena kurangnya rasa perlindungan dan bimbingan dari keluarga.

Inilah sejelek-jelek kepala keluarga yang mencelakakan. Bukan saja merugikan tapi juga merusak masa depan banyak orang yang ada dibawah pimpinannya. Dari keluarga yang demikian kita tidak berharap banyak akan kebaikannya. Jangankan untuk membangun masyarakat & bela negara. Untuk urusan dirinya sendiri saja mereka malah memerlukan pertolongan.

Maka itu Rasulullah SAWW katakan, diantara ciri mencapai kesempurnaan iman seorang kepala keluarga diantaranya apabila ia terlihat berbudi pekerti baik & ramah kepada keluarganya. Karena sikap ramah jenaka kepada istri dan keluarga adalah menunjukan kedalaman hati dan pemahaman yang luas dalam beragama. Singkatnya, ia orang berilmu ahli hikmah!

Maka, marilah kita berbuat ramah kepada keluarga. Toh, tidak ada orang yang akan dirugikan oleh sikap ramah kita. Sebaliknya malah mungkin keluarga dan orang banyak senang atau terhibur oleh sikap kita. Sekedar mengingatkan, kenapa Rasulullah SAWW mewasiatkan kepada kita untuk senantiasa berbuat baik dan memperhatikan betul-betul kepada anak-anak yatim. Bukan sekedar soal hartanya yang ditakuti tidak ada, lebih dari itu adalah kasih sayang figur ayah sebagai kepala keluarga yang tidak dimiliki oleh anak yatim, siapa yang bisa menggantikannya?

Sebagai kepala keluarga, jangan “meyatimkan” anak-anak kita dengan pelit berkasih sayang terhadap mereka. Rawat, pelihara dan buai mesralah anak-anak kita dengan kasih sayang dan sikap ramah.

Kepada mereka kepala keluarga yang mungkin memiliki watak keras, kaku, hambar apalagi pemarah dan egois terhadap keluarga, alangkah baiknya Anda belajar berbuat ramah kepada orang lain, terlebih itu keluarga. Teringatlah hadist Nabi SAWW untuk kita renungkan bersama :

Segala seuatu yang tidak ada padanya dzikrullah adalah sia-sia dan gurauan belaka, kecuali empat perkara, diantaranya adalah… dan ramah canda seorang suami terhadap keluarganya. “

“Neraka itu diharamkan atas setiap orang yang lunak, ramah, lapang dada dan mudah baik hubungannya.”
(HR Attirmidzi)

“Sesungguhnya Allah lunak dan tenang. Suka pada ketenangan pada semua urusan.” (HR Bukhari Muslim)